Sabtu, 25 Juni 2011

Dari Chatting Ke Lesbi

Hai, namaku Bunga (samaran), umur 21 tahun, aku masih kuliah di salah satu PTN terkenal di Jogja. Terus terang saja aku adalah seorang gadis yang menyukai sesama jenis dan aku menyadarinya semenjak SMP kelas 3. Dan aku mulai bereksperimen dengan dunia lesbianku semenjak kelas 1 SMA. Ini adalah sepenggal kisah pengalaman pribadiku yang benar-benar terjadi. Semua nama orang dan tempat dalam cerita ini sengaja disamarkan untuk menghindari hal-hal yang tidak dinginkan.
Kisah ini diawali dengan kegemaranku akan chatting pakai IRC dari dua tahun lalu. Dengan nick name **** (edited), aku iseng menjelajahi dunia cyber. Akhirnya kutemukan chat room/channel yang cocok denganku yaitu #lesbi, #lesbian, #lesbians, #lezbo, dan masih banyak lagi, bahkan aku sempat menjadi salah satu OP di sebuah channel lesbian. Aku pun mulai berkenalan dengan beberapa orang yang kebanyakan dari luar negeri dan yang dari negeri sendiri. Bisa di katakan 50% orang yang online di channel tersebut adalah laki-laki, hal itu yang membuatku menjadi agak jengkel, mereka semua penipu. Sampai akhirnya aku berkenalan dengan seorang wanita.
(***-devil) Hii.. boleh kenal nggak yah?
(****_girl) Boleh.. boleh.. asl-nya donk.
(***-devil) Aku 30 f jkt.. kamu?
(****_girl) Gue 20 f Jogja city.. hi hi hi, eh udah agak tua hihihihi.
(***-devil) Yee.. emang nggak boleh, eh real name dong biar enak manggilnya.
(****_girl) Gue Bunga.
(***-devil) Met kenal Bunga.. kenalkan aku.. Lina.
Obrolan kami pun terus berlangsung, mulai dari hal-hal yang ringan hingga hal-hal yang berbau seks. Hampir setiap hari kami bertemu di channel, kami pun mulai bertukar alamat, nomor telepon, dan foto beserta biodata melalui e-mail maupun langsung saat online di channel. Mbak Lina adalah wanita karier yang termasuk dalam golongan yuppies (young urban profesional), dia belum berkeluarga dan hidup sendiri di tengah kerasnya kehidupan ibukota. Hingga pada suatu hari telepon di kosku berdering.
“Halo.. bisa bicara dengan Dik Bunga?”
Aku pun menjawab, “Ya, saya sendiri.. mm ini dari siapa yah?”
“Ini aku Dik.. Mbak Lina!”
Aku tersentak, ya ampun suaranya begitu halus dan lembut, suaranya mampu menggetarkan hatiku.
“Ya ampun Mbak Lina.. bikin kaget saja, gimana kabarnya Mbak?”
“Baik-baik aja, eh Mbak bisa minta tolong nggak?”
“Ada apa Mbak?”
“Mbak sekarang ada di Jogja nih.. bisa nggak kamu jemput Mbak di stasiun, sekalian nyari hotel buat Mbak bisa nggak?”
“Oh my god.. kenapa nggak bilang-bilang kalau mau ke Jogja Mbak, iya deh Mbak aku jemput sekarang, Mbak tunggu saja di sana ok?”
“OK.. makasih yah.”
Dengan segera sore itu juga aku menjemputnya di stasiun, tak lupa kubawa fotonya agar aku lebih mudah mengenali dirinya. Sesampainya di stasiun, aku langsung bisa mengenalinya, wanita anggun dengan setelan blazer khas wanita karier. Aku pun menyapanya, “Mbak Lina..!” Dia pun berpaling kepadaku, dan tampaknya dia terperanjat, “Ya ampun.. Bunga.. kamu nampak jauh lebih cantik dibandingkan photomu.” katanya, sembari tanpa malu-malu mengecup pipiku. Aku pun membalasnya dengan agak canggung. “Udah Mbak.. ngobrolnya sambil jalan aja, udah sore nih, entar kemaleman lagi.. yuk!” kataku sambil kugandeng tangannya. Selama perjalanan Mbak Lina bercerita bahwa dia ambil cuti seminggu untuk liburan, dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke Jogja, dia ingin mengunjungi Borobudur, Prambanan, pantai Parang Tritis serta daerah wisata lain di sekitar Jogja. Aku mencarikannya hotel yang dekat dengan kosku di sekitar kampus.
Kami pun tiba di hotel T, setelah check in kami berdua segera menuju kamar, tampaknya Mbak Lina sangat lelah akibat perjalanannya.
“Mbak.. kalau Mbak lelah, jalan-jalan ke Malioboronya besok aja Mbak, mendingan Mbak istirahat aja sekarang, OK?” kataku sembari beranjak keluar ruangan.
“Lho Bunga! kamu mau kemana?” tanya dia.
“Mmm.. anu Mbak, Bunga pulang ke kos dulu.. mau mandi, kan udah sore.”
“Kamu ini gimana, mandi di sini kan bisa, habis mandi nanti kita keluar.. anterin Mbak jalan-jalan, gimana mau khan? please!” katanya sambil memohon kepadaku, aku pun mengangguk.
Mbak Lina mulai melepas bajunya satu demi satu hingga tinggal BH dan celana dalamnya saja. “Bunga.. kamu ini gimana, katanya mau mandi, ayo buka bajunya!” katanya sembari melucuti pakaianku, aku hanya bisa pasrah saja dengan tingkah lakunya, dia pun juga menyisakan BH dan celana dalamku saja, meski tubuhku (175 cm) lebih besar dibanding dia (kurang lebih 165 cm) aku tidak banyak berkutik. Aku bisa melihat lekuk tubuhnya yang indah dengan jelas, dadanya seukuran denganku 36B, dan ia memiliki belahan pantat yang sangat indah. “Hei.. disuruh mandi kok malah bengong, ayo..!” dia membimbingku ke kamar mandi, kemudian segera menutup pintu kamar mandi begitu kami berdua berada di dalam. “Mmm.. mandinya bareng aja yah, biar lebih cepet, “katanya sambil tersenyum, sekarang dia mulai melepas BH dan celana dalamnya dan tanpa canggung melepas punyaku juga. Terpampang jelas di depanku wanita cantik dan seksi dengan payudara yang padat dan menjulang ke atas, aku bisa membaui aroma kewanitaanya dari kemaluannya, membuat kemaluanku semakin basah. Tanpa pikir panjang aku langsung menubruk dan memeluk tubuhnya, aku memepet tubuhnya ke dinding sehingga dia tidak dapat berkutik lagi, aku bisa merasakan sensasi yang menakjubkan ketika payudaranya bergesekan dengan payudaraku, aku bisa merasakan nafasnya mulai tidak beraturan. Mbak Lina memejamkan matanya, tampaknya dia pasrah dalam pelukanku.
Tanganku pun mulai bergerilya, menyusuri tubuh indahnya, kulumat bibir indahnya dengan bibirku, dia membalas pagutan demi pagutan, dia merangkulkan tangannya ke leherku, napasnya semakin memburu dan aroma khas kewanitaannya semakin keras menusuk hidungku. Aku pun merasa kemaluanku semakin basah, payudaraku pun semakin menegang. Pelan-pelan tanganku mulai merambat menuju kemaluannya dan.. ya ampun.. kemaluannya sudah sangat basah, kuraba selangkangannya dengan lembut, dan ia sempat tersentak ketika jari-jariku meraba klitorisnya, ketika jariku ingin kumasukkan ke dalam liang kemaluannya dia mencegahku dengan wajah memelas, dia menggelengkan kepalanya, dia tidak ingin aku melakukannya, mungkin dia masih perawan pikirku. Dia pun berkata, “Sayang.. dielus-elus saja yah.. please,” katanya sambil memelas. Aku pun hanya mengangguk. Kulumat lagi bibir indahnya sambil mengusap-usap kemaluannya, dia pun juga mulai mengusap kemaluanku. Beberapa saat kemudian aku merasakan sensasi enak yang menjalari tubuhku, hangat dan mulai memusat ke arah kemaluanku.
“Mbak.. ahh.. ah.. oughh.. terus.. jangan berhentii.. uuhh.. udah mau keluar nih.”
“Bunggaa.. aah.. Mbak juga udah mau keluar nih.. ouughh..”
Sesaat kemudian tubuhku mengejang-ngejang dan aku merasakan cairan hangat mengalir deras dari kemaluanku, begitu juga dengan Mbak Lina dia memelukku dengan erat ketika dia mencapai orgasme, dia melumat bibirku agar tidak berteriak, setelah agak mereda, dia mulai melepaskan pelukannya tapi kemudian ambruk dalam pelukanku, tampaknya dia sangat lelah kemudian aku pun memandikannya dengan lembut dan dia pun juga melakukan sebaliknya kepadaku. Dia tampak pasrah sekali kepadaku, sampai-sampai dia tidak mau melepaskan pelukannya dariku. Kukeringkan badannya dengan handuk sambil sesekali mengelus payudara ataupun kemaluannya dan dia tidak memberikan perlawanan yang berarti sama sekali.
Kurebahkan tubuhnya di atas ranjang, kemudian kuciumi sekujur tubuhnya yang masih bau sabun, kulitnya putih, mulus , halus, lembut, tanpa cacat dan aku suka itu. Mbak Lina sudah tampak pasrah sekali dan dia tidak bisa melakukan perlawanan sama sekali, dan kupikir ini merupakan suatu kesempatan bagiku. Kuikatkan kedua tangannya ke ranjang dengan scarf miliknya, dan dia masih tidak melawan, aku tidak habis pikir, pasti dia menikmatinya, gumamku dalam hati. Kutindih tubuhnya dengan tubuhku, kuciumi bibirnya dengan penuh nafsu. Kembali sensasi menakjubkan itu kurasakan saat tubuhku menghimpit tubuhnya, nafasku menjadi semakin tidak karuan, kedua kemaluan kami saling bergesekan. Oh, aku sudah tidak tahan lagi, langsung saja kuremas kedua payudaranya sambil sesekali kuhisap, berkali-kali ia menjerit lirih. “Ohh.. mm.. uuouugh.. Bunga.. uuhh..”jeritnya tertahan. Desahannya itu semakin membuatku kehilangan akal, tanpa pikir panjang kumasukkan kedua jariku ke dalam liang kemaluannya, dan.. “Bles..” meskipun liang kemaluannya masih rapat, aku tahu kalau dia sudah tidak perawan, sempat terlintas di pikiranku kenapa dia melarangku melakukannya tadi. Sesaat dia ingin mengatakan sesuatu tapi dengan cepat aku langsung membungkam mulutnya dengan tanganku yang lain, dia pun mulai meronta.
Kembali kutindih tubuhnya agar dia tidak bisa berkutik, sembari jariku masih mengobok-obok kemaluannya. Kedua jariku berusaha mencari titik G-spotnya, sampai akhirnya aku menemukannya, kemudian aku tekan kedua jariku. Beberapa saat kemudian Mbak Lina mulai menggeliat-geliat, kedua kakinya dilingkarkannya ke pinggangku, tubuhnya mulai mengejang, bahkan pantatnya sampai terangkat, mulutnya masih kubungkam dengan tanganku. Tubuh Mbak Lina mengejang dengan hebat sampai-sampai Mbak Lina memejamkan matanya. Setelah agak mereda, aku segera lepaskan tanganku dari mulutnya. Saat itu aku baru menyadari kalau Mbak Lina menangis, aku pun melepaskan ikatan tangannya dan.. “Plakk.. plakk..” Mbak Lina langsung menampar wajahku dua kali. Karena aku merasa tidak melakukan suatu kesalahan, aku pun mulai menangis. Belum pernah aku ditampar oleh seorang pun seumur hidupku.
“Hiks.. hiks.. Bunga.. kamu jahat sekali” katanya sambil sesenggukan.
“Mbak.. apa salahku..” kataku sembari berusaha menghapus air mataku yang bertambah deras.
“Kamu.. kamu kan harusnya sudah tahu itu, Mbak kan sudah bilang.. jangan kamu lakukan itu tapi tetap saja kamu lakukan itu. Kamu tuh nggak ngerti perasaan Mbak.. hiks,” katanya sambil menahan tangis.
“Mbak.. Bunga minta maaf, waktu itu Bunga kalap.. jadi Bunga kehilangan kontrol.. maafkan aku ya Mbak!” aku mengiba kepadanya.
Mbak Lina tidak memperdulikan ucapanku, dia membalikkan tubuhnya dan membenamkan wajahnya ke bantal sambil menangis tersedu-sedu. Aku menjadi serba salah. Aku pun segera berpakaian, kurasa Mbak Lina sekarang lagi ingin menyendiri, jadi pelan-pelan kutinggalkan kamarnya. Aku keluar dari hotel dengan berat hati karena merasa sangat bersalah. Dua jam kemudian aku kembali ke kamarnya, ternyata dia tak mengunci pintu kamarnya, aku pun masuk dengan mengendap-endap, aku takut dia masih marah kepadaku. Aku melihatnya masih teronggok di atas ranjang, tampaknya dia kelelahan sampai tertidur, kasihan aku melihatnya. Aku pun mendekat dan berusaha menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut. Tapi kemudian ia terbangun, mungkin ia terbangun olehku. Dia membetulkan selimutnya sambil menatapku dalam-dalam, aku tak berani menatapnya, aku hanya bisa tertunduk malu.
“Bunga sekarang jam berapa?” katanya kepadaku.
“Jam sembilan Mbak,” jawabku takut-takut, sambil terus menunduk.
“Ya ampun.. Mbak belum makan malam nih.. temenin Mbak makan yuk!” kata dia.
Aku tidak menjawab, aku hanya mengangguk pelan. Dia pun segera berdandan dan berganti pakaian. Lalu dia menggandeng tanganku keluar kamar, dia menggenggam tanganku dengan erat, entah apa yang dipikirkannya.
Kami pun akhirnya makan di sebuah rumah makan dekat hotel yang kebetulan buka sampai malam. Selama makan pun kami saling berdiam diri, tidak mengucapkan sepatah katapun. Sepulang dari rumah makan itu, Mbak Lina kembali menggandeng tanganku dengan erat, seolah tidak ingin melepaskanku. Kami kembali menuju hotel dan segera menuju kamar. Begitu kami masuk kamar, Mbak Lina langsung mendudukkanku di bibir ranjang, aku sudah siap jika ia ingin memarahiku lagi, aku menundukkan kepalaku, tidak berani menatap wajahnya. Tapi kemudian tangannya yang halus dan lembut mendongakkan kepalaku, dia menatapku dalam-dalam. Karena merasa takut, tanpa sadar air mataku mulai mengalir.
“Lho Bunga.. kenapa kamu menangis?” tanya dia sambil menghapus air mataku.
“Mbak.. Bunga minta maaf, Bunga ngaku salah, maafin aku ya Mbak..!” kataku terisak.
Mbak Lina bersimpuh di hadapanku, diambilnya tanganku, dia genggam erat tanganku.
“Bunga.. harusnya Mbak yang minta maaf sama kamu, Mbak udah ngasarin kamu.. udah sekarang kamu jangan nangis lagi yah.. sayang,” kata dia sambil mengecup keningku.
“Harusnya Mbak memberitahu kamu sejak awal tentang ini.. mm.. begini. Sebenarnya Mbak punya komitmen akan sesuatu..” katanya memecah suasana.
Dia berkata, “Mbak pernah berjanji pada diri sendiri, barang siapa yang pertama kali melakukan seperti apa yang kamu lakukan tadi pada Mbak, maka Mbak akan setia bersama dia sebagai seorang kekasih.”
“Tapi.. tapi Mbak kan sudah nggak perawan lagi..” kataku.
“Iya betul.. tapi aku kehilangan kegadisanku oleh tanganku sendiri, perlu kamu ketahui kamulah orang pertama yang melakukan itu padaku, meski dulu aku punya pacar tapi tidak ada yang seberani kamu dan senekat kamu sehingga mereka tidak pernah berani macam-macam sama Mbak.. kamu mengerti sekarang sayang,” kata dia.
Dia kembali berkata, “Bunga.. maukah kamu menjadi kekasihku?” dia memohon sambil berlutut di hadapanku. Sekali lagi aku tidak ingin membuat kesalahan, aku tidak ingin mengecewakannya lagi, aku pun mengangguk pelan. Mbak Lina pun bangkit, kemudian dia duduk di pangkuanku, lalu dia melepas t-shirt yang dikenakannya, terpampanglah dua gundukan indah di hadapanku, terbalut BH putih berenda. Kami berpandangan, Mbak Lina tersenyum manja, kemudian dia mengecup bibirku, aku pun tersenyum. Kupeluk tubuh indahnya kemudian kubaringkan dia, kemudian.. “Bunga! Jangan ditindih ya.. please.. habis kamu berat sih,” katanya manja. Aku pun cuma mengangguk, aku lalu berbaring di sampingnya, kubelai rambutnya dengan lembut, kukecup keningnya, bibirnya, kemudian lidahku mulai menelusuri tubuhnya, kucium dadanya, pagutan demi pagutan membuatnya tampak kegelian. Kulepaskan BH-nya yang dari tadi masih menutupi gunung kembarnya, puting susunya tegak berdiri, tampaknya dia sudah sangat terangsang. Kujilati puting susunya satu persatu. “Oooh..!” Mbak Lina mendesah kegelian, aku pun mulai menghisap puting susunya yang sebelah kanan sedang yang kiri kupilin-pilin putingnya dengan kedua jariku. Kali ini Mbak Lina mengeluarkan desahan-desahan yang menggairahkanku, dia memejamkan mata sambil menggigit bibirnya, berusaha menahan gairah yang begitu menggelora.
Setelah cukup puas, kubuka t-shirt beserta BH-ku, kupeluk tubuhnya kemudian kubalikkan tubuhnya sehingga kini ia menindihku. Dia duduk di atas tubuhku. Kini tangannya mulai usil memilin-milin kedua puting susuku sambil tersenyum manja, kulingkarkan tanganku ke pinggangnya sehingga tubuhnya semakin dekat denganku. Kuraih punggungnya sehingga ia kembali menindihku, kedua kaki kami saling membelit, tangannya masih meremas-remas kedua payudaraku, dia menatapku dalam-dalam, aku tahu apa maksudnya. Bibir kami pun bertemu, saling melumat, lidah kami saling berpilin, dada kami saling bergesekan, aku pun mulai merasakan kehangatan bunga-bunga cinta di antara kami.
Mbak Lina sudah tidak sabar lagi, ia mulai melepas celana jeans beserta celana dalam yang dikenakannya, dia juga melepas pakaian yang masih menempel di tubuhku. Kini kami berdua sama-sama telanjang bulat, kami mulai bergumul di atas ranjang, berguling-guling ke sana kemari. Aroma kewanitaan dari kemaluan kami mulai terasa keras menusuk hidung. Kemaluan kami berdua benar-benar basah, terbukti ketika kami saling menggosokkan kemaluan kami sampai terdengar bunyi berdecak-decak pertanda kemaluan kami sangat becek. Bibirku terus melumat bibirnya, nafasnya mulai tidak teratur, kumasukkan kedua jariku ke kemaluannya, dia pun tak mau kalah dia juga memasukkan kedua jarinya ke dalam liang kemaluanku, aku mulai mengobok-obok kemaluannya sambil terus memeluknya dengan erat. Tidak.. sekarang tidak hanya kedua jariku, kini kumasukkan tiga jari ke dalam kemaluannya dan dia pun semakin menggila, tangannya yang satu lagi meremas pantatku dengan kuat, tubuhnya semakin mengejang-ngejang.
“Ooohh.. oughh.. aahh.. Bungaa.. mau keluar nihh.. oohh..” dia mendesah dengan keras.
Dan aku pun bisa merasakan cairan hangat keluar dari kemaluannya, aroma kewanitaan pun semakin terasa, membuatku semakin menggila. Tak lama kemudian aku pun mencapai orgasme, tubuhku mengejang dengan hebat, seolah-olah ada yang meledak dalam tubuhku. Kami berdua terkulai lemas dalam pelukan, aku masih sempat melihat dia tersenyum kepadaku, kemudian dia memejamkan matanya dan tidur dalam pelukanku. Keesokan harinya aku terbangun, aku mendapati dirinya masih meringkuk dalam pelukanku, aku sibakkan rambut yang menutupi wajahnya, wajahnya tampak berseri-seri, aku tidak tega membangunkannya, dia begitu cantik dan anggun. Aku pun terus membelainya sampai kemudian ia terbangun. Kukecup bibirnya dengan lembut. “Selamat pagi..” kataku lirih.
TAMAT
Bu Dosen Yang Cantik
Cerita ini bermula pada waktu itu aku lagi kuliah di semester VI di salah satu PTS di Bandung. Ceritanya saat itu aku lagi putus dengan pacarku dan memang dia tidak tahu diri, sudah dicintai malah bertingkah, akhirnya dari cerita cintaku cuma berumur 2 tahun saja. Waktu itu aku tinggal berlima dengan teman satu kuliah juga, kita tinggal serumah atau ngontrak satu rumah untuk berlima. Kebetulan di rumah itu hanya aku yang laki-laki. Mulanya aku bilang sama kakak perempuanku, “Sudah, aku pisah rumah saja atau kos di tempat”, tapi kakakku ini saking sayangnya padaku, ya saya tidak diperbolehkan pisah rumah. Kita pun tinggal serumah dengan tiga teman wanita kakakku.
Ada satu diantara mereka sudah jadi dosen tapi di Universitas lain, Ibu Vivin namanya. Kita semua memanggilnya Ibu maklum sudah umur 40 tahun tapi belum juga menikah. Ibu Vivin bertanya,
“Eh, kamu akhir-akhir ini kok sering ngelamun sih, ngelamunin apa yok? Jangan-jangan ngelamunin yang itu..”
“Itu apanya Bu?” tanyaku.
Memang dalam kesehari-harianku, ibu Vivin tahu karena aku sering juga curhat sama dia karena dia sudah kuanggap lebih tua dan tahu banyak hal. Aku mulai cerita,
“Tahu nggak masalah yang kuhadapi? Sekarang aku baru putus sama pacarku”, kataku.
“Oh…. gitu ceritanya, pantesan aja dari minggu kemarin murung aja dan sering ngalamun sendiri”, kata Ibu Vivin.
Begitu dekatnya aku sama Ibu Vivin sampai suatu waktu aku mengalami kejadian ini. Entah kenapa aku tidak sengaja sudah mulai ada perhatian sama Ibu Vivin. Waktu itu tepatnya siang-siang semuanya pada kuliah, aku sedang sakit kepala jadinya aku bolos dari kuliah. Siang itu tepat jam 11:00 siang saaat aku bangun, eh agak sedikit heran kok masih ada orang di rumah, biasanya kalau siang-siang bolong begini sudah pada nggak ada orang di rumah tapi kok hari ini kayaknya ada teman di rumah nih. Aku pergi ke arah dapur.
“Eh Ibu Vivin, nggak ngajar Bu?” tanyaku.
“Kamu kok nggak kuliah?” tanya dia.
“Habis sakit Bu”, kataku.
“Sakit apa sakit?” goda Ibu Vivin.
“Ah… Ibu Vivin bisa aja”, kataku.
“Sudah makan belum?” tanyanya.
“Belum Bu”, kataku.
“Sudah Ibu Masakin aja sekalian sama kamu ya”, katanya.
Dengan cekatan Ibu Vivin memasak, kita pun langsung makan berdua sambil ngobrol ngalor ngidul sampai-sampai kita membahas cerita yang agak berbau seks. Kukira Ibu Vivin nggak suka yang namanya cerita seks, eh tau-taunya dia membalas dengan cerita yang lebih hot lagi. Kita pun sudah semakin jauh ngomongnya. Tepat saat itu aku ngomongin tentang perempuan yang sudah lama nggak merasakan hubungan dengan lain jenisnya.
“Apa masih ada gitu keinginannya untuk itu?” tanyaku.
“Enak aja, emangnya nafsu itu ngenal usia gitu”, katanya.
“Oh kalau gitu Ibu Vivin masih punya keinginan dong untuk ngerasain bagaimana hubungan dengan lain jenis”, kataku.
“So pasti dong”, katanya.
“Terus dengan siapa Ibu untuk itu, Ibu kan belum kimpoi”, dengan enaknya aku nyeletuk.
“Aku bersedia kok”, kataku lagi dengan sedikit agak cuek sambil kutatap wajahnya.
Ibu Vivin agak merah pudar entah apa yang membawa keberanianku semakin membludak dan entah kapan mulainya aku mulai memegang tangannya. Dengan sedikit agak gugup Ibu Vivin kebingungan sambil menarik kembali tangannya, dengan sedikit usaha aku harus merayu terus sampai dia benar-benar bersedia melakukannya.
“Okey, sorry ya Bu, aku sudah terlalu lancang terhadap Ibu Vivin”, kataku.
“Nggak, aku kok yang salah memulainya dengan meladenimu bicara soal itu”, katanya.
Dengan sedikit kegirangan, dalam hatiku dengan lembut kupegang lagi tangannya sambil kudekatkan bibirku ke dahinya. Dengan lembut kukecup keningnya. Ibu Vivin terbawa dengan situasi yang kubuat, dia menutup matanya dengan lembut. Juga kukecup sedikit di bawah kupingnya dengan lembut sambil kubisikkan,
“Aku sayang kamu, Ibu Vivin”, tapi dia tidak menjawab sedikitpun.
Dengan sedikit agak ragu juga kudekatkan bibirku mendekati bibirnya. Cup… dengan begitu lembutnya aku merasa kelembutan bibir itu. Aduh lembutnya, dengan cekatan aku sudah menarik tubuhnya ke rangkulanku, dengan sedikit agak bernafsu kukecup lagi bibirnya. Dengan sedikit terbuka bibirnya menyambut dengan lembut. Kukecup bibir bawahnya, eh… tanpa kuduga dia balas kecupanku. Kesempatan itu tidak kusia-siakan. Kutelusuri rongga mulutnya dengan sedikit kukulum lidahnya. Kukecup, “Aah… cup… cup… cup…” dia juga mulai dengan nafsunya yang membara membalas kecupanku, ada sekitar 10 menitan kami melakukannya, tapi kali ini dia sudah dengan mata terbuka. Dengan sedikit ngos-ngosan kayak habis kerja keras saja.
“Aah… jangan panggil Ibu, panggil Vivin aja ya!”
Kubisikkan Ibu Vivin, “Vivin kita ke kamarku aja yuk!”.
Dengan sedikit agak kaget juga tapi tanpa perlawanan yang berarti kutuntun dia ke kamarku. Kuajak dia duduk di tepi tempat tidurku. Aku sudah tidak tahan lagi, ini saatnya yang kutunggu-tunggu. Dengan perlahan kubuka kacing bajunya satu persatu, dengan lahapnya kupandangi tubuhnya. Ala mak… indahnya tubuh ini, kok nggak ada sih laki-laki yang kepengin untuk mencicipinya. Dengan sedikit membungkuk kujilati dengan telaten. Pertama-tama belahan gunung kembarnya.
“Ah… ssh… terus Ian”, Ibu Vivin tidak sabar lagi,
BH-nya kubuka, terpampang sudah buah kembar yang montok ukuran 34 B. Kukecup ganti-gantian,
“Aah… sssh…” dengan sedikit agak ke bawah kutelusuri karena saat itu dia tepat menggunakan celana pendek yang kainnya agak tipis dan celananya juga tipis, kuelus dengan lembut, “Aah… aku juga sudah mulai terangsang.
Kusikapkan celana pendeknya sampai terlepas sekaligus dengan celana dalamnya, hu… cantiknya gundukan yang mengembang. Dengan lembut kuelus-elus gundukan itu,
“Aah… uh… sssh… Ian kamu kok pintar sih, aku juga sudah nggak tahan lagi”,
Sebenarnya memang ini adalah pemula bagi aku, eh rupanya Vivin juga sudah kepengin membuka celanaku dengan sekali tarik aja terlepas sudah celana pendek sekaligus celana dalamku.
“Oh… besar amat”, katanya. Kira-kira 18 cm dengan diameter 2 cm, dengan lembut dia mengelus zakarku,
“Uuh… uh… shhh..” dengan cermat aku berubah posisi 69, kupandangi sejenak gundukannya dengan pasti dan lembut. Aku mulai menciumi dari pusarnya terus turun ke bawah, kulumat kewanitaannya dengan lembut, aku berusaha memasukkan lidahku ke dalam lubang kemaluannya,
“Aah… uh… ssh….. terus Ian”, Vivin mengerang.
“Aku juga enak Vivin”, kataku. Dengan lembut di lumat habis kepala kemaluanku, di jilati dengan lembut,
“Assh… oh… ah…. Vivin terus sayang”,
Dengan lahap juga kusapu semua dinding lubang kemaluannya, “Aahk… uh… ssh…..” sekitar 15 menit kami melakukan posisi 69, sudah kepengin mencoba yang namanya bersetubuh. Kuubah posisi, kembali memanggut bibirnya.
Sudah terasa kepala kemaluanku mencari sangkarnya. Dengan dibantu tangannya, diarahkan ke lubang kewanitaannya. Sedikit demi sedikit kudorong pinggulku,
“Aakh… sshh… pelan-pelan ya Ian, aku masih perawan”, katanya.
“Haaa…” aku kaget, benar rupa-rupanya dia masih suci.
Dengan sekali dorong lagi sudah terasa licin. Blessst,
“Aahk…” teriak Vivin,
kudiamkan sebentar untuk menghilangkan rasa sakitnya, setelah 2 menitan lamanya kumulai menarik lagi batang kemaluanku dari dalam, terus kumaju mundurkan. Mungkin karena baru pertama kali hanya dengan waktu 7 menit Vivin…
“Aakh… ushh… usssh… ahhhkk… aku mau keluar Ian”, katanya.
“Tunggu, aku juga sudah mau keluar akh…” kataku.
Tiba-tiba menegang sudah lubang kemaluannya menjepit batang kemaluanku dan terasa kepala batang kemaluanku disiram sama air surganya, membuatku tidak kuat lagi memuntahkan… “Crot… crot… cret…” banyak juga air maniku muncrat di dalam lubang kemaluannya.
“Aakh…” aku lemas habis, aku tergeletak di sampingnya.
Dengan lembut dia cium bibirku, “Kamu menyesal Ian?” tanyanya.
“Ah nggak, kitakan sama-sama mau.”
Kami cepat-cepat berberes-beres supaya tidak ada kecurigaan, dan sejak kejadian itu aku sering bermain cinta dengan Ibu Vivien hal ini tentu saja kami lakukan jika di rumah sedang sepi, atau di tempat penginapan apabila kami sudah sedang kebelet dan di rumah sedang ramai. sejak kejadian itu pada diri kami berdua mulai bersemi benih-benih cinta, dan kini Ibu Vivien menjadi pacar gelapku.
TAMAT

MELIHAT KADAR CINTA SI DOI BERDASARKAN NAMA

  © OK3 ZON3Online ...Situs Gaul.. . Paling G4ul

Ke : HALAMAN UTAMA